Monday, May 12, 2014

"Lebih cantik tadi pagi"

"selamat pagi" , ucapnya sembari mendaratkan kecupan kecil di bibirku. Tubuhku masih terlalu lelah tertindih nikmat semalam. Aku menarik tinggi kain tebal yang menyelimutiku. Mataku berputar ke sudut meja. memicingkan mata berusaha mengetahui seberapa lama mentari bekerja ditemani hiruk pikuk kota. Ah, Aku tak menemukannya. bagaimana bisa jika sebuah segitiga berwarna hitam menutupinya. Aku tersenyum, rupanya dia selamam begitu terburu2 hingga meletakkan milikku ditempat yang tak sewajarnya. Aku melihatnya mengepulkan asap-asap putih di balik meja. Ada jawaban yang kutemukan mengapa berada di pelukannya begitu nyaman. Dadanya bidang. "Selamat pagi" sahutku dengan terlambat. Senyumnya kecil. Dia melemparkan sebuah lirikan yang membuatku seperti telanjang. Kini aku sedang tak peduli berapa lama matahari sudah bekerja. Selembar kupon sarapan pagi di restoran sama sekali tak berguna baginya. Ia sedang melahap hidangannya. lekukan demi lekukan tubuh yang basah oleh peluh. Kecupan demi kecupan yang sontak kuikuti dengan gerakan tak karuan.

"Sudah lama kita gak ketemu. Gimana kabar?"
"Baik"
"Dia pendiam ya. Boleh juga. Pantas mencuri hatimu"

Ah dia kembali melemparkan lirikan nakal.

"Iya, itu dia yang dulu kukenalkan padamu lewat telepon. Cantik bukan?"
"Iya dong", ucap pria berdada bidang sembari tersenyum simpul.

Aku tersenyum anggun mendengar ucapannya. Handphoneku bergetar. Menimbulkan pergeseran kecil.
Dari sudut mata kulihat mereka tertawa.. bercerita entah mungkin canda jaman sekolah

•Lebih cantik tadi. Saat ku ucapkan selamat pagi•

Reply:
•Kamu bisa aja yaa•

Back. Option. End Chat.

Aku kembali menyeruput kopi ditengah dua sahabat yang sedang tertawa...

Sunday, February 23, 2014

Sebut saja dia Dewa



"Aku sayang loh sama kamu.” Ucapnya kemudian mengecup bibirku dengan lembut.

Aku tak bisa membayangkan, bagaimana rona wajahku saat ini. Dia memang hebat. Pria ini mampu membuat hatiku menjadi kebun bunga yang sedang bermekaran kapanpun ia mau. Bahkan hanya dengan menyatakan ungkapan disela ia main game sembari mengacak rambutku yang memang sudah berantakan.

Pria hebat itu bernama Dewa. Dia yang beberapa waktu ini meluluhlantahkan semua pertahanan hatiku. Dia begitu tampan. Tak peduli apapun yang ia kenakan, aku selalu dibuat terpesona olehnya. Dewa benar-benar tipikal pria idamanku. Dengan Tinggi badan mencapai 180cm dan bahunya yang tegap membuatnya lebih cocok menjadi seorang model  ketimbang seorang supir sebuah alat transportasi udara. Dadanya yang bidang membuatku selalu ingin bersandar disana. Kulitnya yang coklat membuatnya terlihat seksi daripada Lee Min Hoo. Ada sedikit perbedaan di warna kulit lengan kanan dan kirinya. Yang kanan terlihat lebih legam. Mungkin karna sinar UV yang setiap hari menyinarinya melalu jendela kokpit sebelah kanan. Alis yang tebal membuat sorot matanya semakin misterius.

Aku selalu dibuat salah tingkah oleh tatapan yang seolah menelanjangiku satu persatu.

Dia Dewa di relung hati yang tak terusik oleh siapapun.
Dia Dewa, yang menguasai otakku dipagi hari hingga tengah malam saat aku beranjak menapaki mimpi.
Dia Dewa, yang membuatku ingin bersandar dan menghentikan detik detik jam hingga tenggelam.
Dia Dewa, yang aku harapkan kelak berkebun saat aku memasak, Menyeruput kopi adukanku sebelum bekerja, Mengantarkan pahlawan kecil dan putri tercantik kami menuju mimpi, lalu mengecupku dan berbagi kasur hingga terlelap.


Selamat Malam Dewa

Friday, May 3, 2013

"Pemerintah bego nih"

"Tomang bang?"
"Masuk dalam neng"
aku memastikan aku tak akan salah kagi menaiki angkot. Aku Berjalan menuju bangku ujung, memasuki sebuah angkot JB 03 dengan membungkuk agar kepalaku tak terbentur plafon mobil angkutan ini.

Tepat di depanku, aku melihat dua orang wanita yang kuperkirakan usianya memasuki 19 tahun. Mereka berdua nampaknya berteman. Aku tahu karena melihat mereka berdua tengah asik membicarakan sesuatu. aku tidak tahu mereka berbicara tentang topik apa, yang ku tahu hanya satu, nampaknya mereka berdua tengah memakan siomay batagor yang amat pedas. Mereka berdua berbincang sambil sesekali mengusap keringat diatas bibir mereka.

Angkot berjalan, memecah kemacetan saat jam pulang kerja. Aku melepas id card kerjaku yang ternyata masih terselip di pita bajuku.

Macet macet dan macet. Itulah kata lain yang dapat menggambarkan Jakarta selain monas. Angkot yang kunaiki ini mulai berjalan memasuki gang. Namun tak satu orangpun turun mengurangi kesempitan.

Hingga akhirnya aku mendengar dua wanita tadi berbincang. Bukan maksudku mendengarkan, tapi suara cempreng mereka menembus dinding telinga seluruh penumpang. Jadi mau tidak mau kami seperti kambing congek yang menumpang di mobil pribadi mereka.

"Hujan gede kemaren rumah lo banjir gak???"
"Banjir. Gila. Jalanan tuh lumayan becek. Saluran airnya penuh jadi ke jalan deh aernya"
"Rumah gue juga banjir. Ya sama bgitu."
"Ih pemerintah mah janji doang. Katanya mau ngatasin banjir"
"Iya. Pemerintah bego nih. Ngatasin gitu doang susah. Gayanye aja belusukan kagak ada hasilnya"
"Hahahaa iye, tau begitu kagak usah pilih jokowi"

Aku diam. Menyimak pembicaraan mereka mengenai usaha pemerintah. Hingga akhirnya mereka diam. Aku melihat sesuatu yang membuatku tersenyum sinis. Ingin rasanya aku menjambak rambut keduanya dan kuikat jadi satu, lalu kuseret mereka ke saluran air yang dipenuhi sampah di Jakarta.

"Depan Kiri bang!" Mereka berdua mengisyaratkan agar sang supir menginjak rem dan menurunkan dua princess yang PINTAR ini.

"MBAKKK SAMPAHNYA SIOMAYNYA DIBAWA YA. BUANG DI BAK SAMPAH. Nanti kalo ditinggal dibawah situ, Jakarta banjir lagi, berarti ya karena warganya Jokowi kayak lo berdua. Bukan Jokowinya yang bego ya"

Aku memberikan mereka sebuah kantong plastik yang slalu kusimpan di dalam tasku. Lalu mengambilkan sampah yang sebenarnya sudah mereka ikat rapi lalu diletakkan dilantai angkutan umum ini.

"BUANG DI BAK SAMPAH. SUPAYA GANG RUMAHNYA GAK BANJIR LAGI"
Ujarku sembari menyodorkan bungkus siomay yang pedas dan sudah memenuhi perut mereka.

Kulihat mereka turun dengan muka cemberut. Satu wanita membawa kantong plastik hitam berisi sampah.

Andai Jokowi tahu, dia sedang memimpin warga yang tidak memiliki kesadaran pribadi seperti itu.

Semangat pak Jokowi. Saya tidak mengikutkan suara saya pada pemilihanmu. Tapi saya sebagai pendatang di Kotamu, turut memimpikan Jakarta yang bersih.

;)

Jakarta, 3 Mei 2013

Thursday, May 2, 2013

Yang kecil yang berbagi.

Suara klakson terdengar menyambut pagi, sebagai tanda bahwa hingar bingar dan hiruk pikuk kota hari ini dimulai.
Sederetan pekerja telah berdiri di bibir jalan dan sebagian berada di halte busway. tak sedikit pula yang ada di ujung belokan menanti alat transportasi umum. Berantakan sekali!!! Seolah olah mereka tak tahu fungsi halte.

Ya.
Inilah Jakarta yang konon kata mereka keras. Mereka yang semalam mengeluh tentang macetnya Ibukota pada jam pulang kantor namun tetap memilih bertahan dan berdiri disini hingga hari ini.

Hmmmfffhhhhh...
Aku menarik nafas panjang. Aku menjadi bagian dari orang-orang yang kubicarakan tadi. Semalam aku baru saja memaki kota ini akibat kemacetan yang kutempuh hingga 4 jam saat pulang bekerja. Pagi ini, aku duduk di sebuah taksi yang akan kembali membawaku ke kantor.

Lampu merah menyala. Aku mendengus kesal karena akan terjadi insiden klakson menglakson menjelang lampu ini beralih menjadi hijau. Entah mengapa suara klakson yang bersahutan benar-benar membuatku makin emosi. Andai ini negara yang berhukum rimba, aku akan turun dan mencolok dua bola mata mereka dengan jari. Percuma rasanya mereka mempunyai mata namun sudah menglakson jauh sebelum lampu hijau benar benar menyala.

Di lampu merah ini aku sering melihat seorang anak laki-laki yang mungkin usianya sekitar sebelas tahunan. Aku sering tersenyum melihatnya. Dia menjajakan korannya dengan sangat bersemangat. Berlari kecil dari satu kaca mobil ke kaca yang lain. Aku tengah melihatnya sudah menjajakan pada 7 kaca mobil namun tak satupun laku. Dia tetap tersenyum. Dan terus berlari. Hingga akhirnya sampai pada kaca mobil taksi yang kunaiki. Aku membuka jendela. Dan mengambil sepuluh uang dua ribuan baru milikku. Ia memberikan korannya..
"Dek, bawa aja korannya. Itu buat jajan"
"Makasih kak"
sejenak aku teringat adikku yang biasa memanggilku dengan sebutan kak.
Entah mengapa aku seolah sering memerhatikan dia. Si penjaja koran bertopi hijau. Dia sering menularkan semangatnya secara tidak langsung setiap aku melewati jalan ini saat pagi hari.
bersamaan dengan itu dia berlari kearah suara klakson yang keras didepan sana. Aku memerhatikannya. ia masih menggenggam erat dua puluh ribu yang kuberikan tadi. Ia mendatangi seorang bapak tua tunanetra yang baru saja ditabrak motor. Aku memerhatikannya. Menolong dan Menyeberangkan bapak tua itu, mendudukkannya dan mengusap darah di kening bapak tua tersebut. Hingga akhirnya dia memindahkan sepuluh lembar dua ribuan baru yang digenggamnya ke saku kemeja batik bapak tua bertongkat tersebut. Ia berlari, dari satu mobil ke mobil yang lain lagi. Menjajakan korannya dengan riang dan tetap tersenyum....

-Jakarta, 2 Mei 2013-

Friday, March 22, 2013

Kamu yang di sana

Pada barisan kata
Aku menitip rasa
Menguntai jutaan makna
mengartikan alunan debaran jiwa

Pada barisan kata
Aku menutup mata
Sadar ku terlalu banyak meminta

Pada barisan kata
Berisi rasa
Bersarat makna
Terucap doa

"Kamu yang di sana, membaca....."

                                              ThaliaSoewignyo

Jika boleh, aku ingin memanggilnya Dewa!

"Entah berapa jumlah senyumku sejak bersama kamu", ujarmu sembari mencubit daguku.

"Aku slalu ingin menghabiskan tiap detik denganmu", ucapmu di sebuah stasiun kereta.

Aku dan kamu sempat menyusuri malam berjalan di trotoar dan tertawa..

Kita pernah berjanji tak kan saling terlibat rasa, hingga akhirnya tak bisa.

Kita pernah bersenang-senang tanpa ikatan, hingga akhirnya saling menekan.

Aku dan kamu pernah duduk berdua, berbicara sepanjang malam lalu menyambut surya...

Aku dan kamu pernah bermimpi bersama, untuk hidup berdua.

"Aku malu. Ini kebesaran!", ucapku saat kau selesai memasangkan kemejamu dengan begitu mesra.

Mereka menatapku, mungkin iri akan dekapanmu yang mesra di atas transjakarta

Aku dan kamu pernah bersama, berjalan tanpa makna dan berhenti begitu saja...

Kita pernah berjalan tanpa arti, lelah, tertatih, hingga akhirnya saling menyakiti

Aku dan kamu pernah saling bicara, tentang keseriusan..

Aku dan kamu pernah saling menggenggam, menguatkan, lalu terlepas lewat sebuah keputusan

"Andai aja kamu ada disini", ucapmu. Aku tak mengira, kamu jua yang pada akhirnya menepis hadirku dan memilih pergi

Aku dan Kamu hanya tersisa kata...
Terpisah jeda.

AKU, KAMU, TAK LAGI KITA.

ThaliaSoewignyo

Wednesday, March 20, 2013

"Kulo-Njenengan" (end)

"Selamat Wisuda nawank sayanggggggg :*"

Kuletakkan handphoneku di samping bantal lalu beranjak meraih handuk merah jambu yang tergantung di balik pintu kamarku. Pagi yang indah untuk para sahabatku di Surabaya. Hari ini mereka telah sah memiliki embel-embel nama setelah tanda koma. Nawank juga tentunya. Kuakui mereka begitu gigih, sementara aku lebih memilih membiarkan hasil analisis try outku tertidur pulas di dalam flashdisk. Itupun aku lupa dimana terakhir meletakkan flashdisk putih beraksen kuning tersebut. Tidak hilang, hanya terselip. Nanti saja kucari. Satu-satunya yang membuatku panik jika kehilangan FD hanyalah data skripsi di dalamnya, selain itu tidak ada. Kalaupun hilang, ya sudah. Aku punya alasan untuk menggantikannya dengan yang berwarna pink. Entah apa yang ada di benak adikku membeli FD dengan warna yang sangat tidak cute tersebut. Hihhh..

 
"Makaci Re. Ayo, km kpn?. Aku jadi gak bs foto bareng kamu, kita wisudanya gak barengan :(
Kamu sih malessssss!!!!!!!!!!!!!!!!!!!. 'ndang dikerjakan Reeeee! Semangat ya! :* "
Ah, sahabatku ini tetap  cerewet. senang sekali mengomeliku. Aku membaca BBM tersebut sesuai dengan intonasi khas omelan Nawank. kemudian aku tersenyum membacanya, membayangkan kami masuk kuliah bersama empat tahun lalu. Kehidupan mahasiswa begini rupanya, lulus atau tidak tergantung niat dan semangat.  YA!!! Mereka semangat, aku tidak.

Reply 
"Iyoooooo, sana dandan. ati2 kecoret lipstiknya. salam buat anak-anak yang wisuda juga. aku pasti nyusul kloter semester depan. tenang ae!"

***

Antrian taksi tak terlalu panjang, dua orang lagi giliranku. Kota ini begitu panas, aku refleks mengerenyitkan dahiku saat melihat fatamorgana dikejauhan. padahal mataku sudah menggunakan sunglasses Kate Spade kesayanganku.

"Mah, kakak sudah landing. Ini on the way dari Juanda ke rumah"
 "Ya kak. makan di rumah aja, mamah masak lodeh kesukaanmu"

Aku sudah merasakan masakan mama di pangkal tenggrokan, padahal perjalanan ke rumah masih sekitar dua puluh menit. Sidoarjo memang panas luar biasa, meskipun taksi bandara ini disertai AC, aku tetap berkeringat dibuatnya.

***

Welcome to the jungle, Renyta!. 
Aku memasuki latar kampus. Sudah kubulatkan tekadku untuk menyelesaikan skripsi dan meraih gelar layaknya teman-temanku. orang yang pertama kucari adalah Farid. Aku harus belajar bagaimana menjelaskan hasil analisis dataku pada dosen pembimbing. 
Beberapa bulan kutinggalkan, tidak ada yang berubah dari kampusku. hanya saja aku mulai tidak mengenali mahasiswa-mahasiswa yang berlalu lalang di koridor fakultas. Tentu saja, aku kan anak angkatan tua, sedangkan yang berkeliaran di sini adalah junior-junior yang baru kuliah kemaren sore. Tiba-tiba aku merasa sepi. "Terang saja, kan teman-temanku sudah pada lulus" , ucapku dalam hati.

Lobby Fakultas Psikologi, 12.04 PM
Farid lama sekali, aku benar-benar tidak suka menunggu. Tapi mau bagaimana lagi, kan aku yang membutuhkan dia, lagipula aku tak mungkin menyuruhnya sholat cepat-cepat dan segera kesini.

Tikkk... tokkkk... tikkk... tokkk
Mataku tertuju pada lembaran kertas A4 yang kuletakkan di meja. Aku tak pernah menyukai angka, mata kuliah statistikku saja memperoleh nilai 'untung bisa' C. Inilah sebabnya aku menatap analisis dataku dengan tatapan kosong. 

"Maaf ya mbak, lama. ada yang bisa kulo* bantu???"

Thank God, akhirnya datang juga orang ini. Dia pake parfum seliter sepertinya, harum sekali!!!. Tidak mengganggu sih, justru aku respect dengan pria-pria yang begini. Tidak meremehkan penampilan dan tetap segar. Ya iya dia segar, dia kan habis wudhu. Gak layu kayak gw yang menunggu lumayan lama disini. Dia langsung menarik kursi didepanku dan duduk, padahal aku masih penasaran dengan ucapan Lika beberapa waktu lalu. Yahhh apa boleh buat, aku gak sempat melihat panjang celananya seberapa. Nanti saja, pikirku.

"Oh iya rid, tolong ajarin aku dong... ini cara baca datanya gimana. soalnya mau aku setorin ke bu Rini. Takut ditanya-tanyain"

Farid mulai menjelaskan dengan pelan dan sistematis. Seandainya dulu Papa mengajariku matematika SD seperti Farid begini, pasti aku bisa mencintai angka. 

"Udah paham mbak???"
"NGGAK. Hehehe. Sekali lagi dong Rid, yang ini.. gimana tadi"
"Oke. Ini hasil validitas dari variabel Y yang ini validitasnya variabel X"

Aku rasa cukup. bukan cukup mengerti sebenarnya, namun cukup untuk terlihat tampak bodoh didepan junior, kan malu juga kalau Farid tahu aku bodoh masalah angka. HARGA DIRI, JENDRAL!!!!. Apalagi, dia anak angkatan 2008 yang sedang mengambil mata kuliah penulisan skripsi (juga). Sama sepertiku yang notabene sudah angkatan 2007. Mau tertawa??silahkan!!! asal jangan didepan saya.

***

Mc. Donalds Basra, 01.08 AM
Sejak empat setengah tahun kuliah, nampaknya ini pertama kalinya aku belajar seserius ini. Tentu saja, karna 10jam lagi aku harus berdiri di depan tiga dewan penguji untuk mengupas tuntas tas tas tentang isi skripsiku (yang sebenarnya amat sangat tidak kupahami). Selangkah lagi namaku akan bertambah panjang meskipun hanya bertambah empat huruf.

So Lucky Me!, pembimbing gw nambah. hahhaa
Yup, selain dua dosen, gw dibimbing juga sama si Syeh. Bagaimana bisa aku yang awalnya tidak tahu namanya lalu menjadikannya tutor??Bisaaaaa doongggg. Tidak ada yang tidak mungkin kan selain menjilat siku sendiri (hal ini memang tidak mungkin. Aku pernah terlihat bodoh di depan cermin mencobanya karena penasaran setelah membaca info tersebut dari kolom FAKTANYA disebuah majalah)

Farid resmi menjadi tutorku sejak aku meminta bantuannya untuk menganalisiskan data penelitianku. Aku jadi lebih sering menghubunginya dan bertemu di lobby kampus untuk belajar. Terlebih setelah aku mempunyai kontak BBMnya, melihat display picturenya yang bergambar boneka-boneka ekspresi tak jelas membuatku beranggapan bahwa dia cukup mempunyai selera humor yang bagus. Ternyata perkiraanku bahwa dia adalah orang yang kaku salah besar. 
Sejak saat itu aku lebih sering berkomunikasi dengannya. Ya, McD Basra jadi tempat belajar favoritku. Aku memang tipikal orang yang lebih suka belajar di cafe. Bagiku belajar di tempat keramaian merupakan hal yang asik, aku lebih mampu berkonsentrasi, merasa bersemangat, dan tentunya tidak membosankan. 

Malam ini adalah malam kesekian yang kuhabiskan bersama Farid di tempat ini. Oh iya, Sejak mengenal dia aku lebih bersemangat mengerjakan skripsiku, dia begitu pintar membangkitkan semangatku saat aku sudah mulai 'mengesot' di lantai. 
"Oh yaudah kalo males ke kampus gpp, kulo lulus duluan 'nggih. Njenengan* Mei 2014 aja".  
Ya, begitulah isi BBMnya saat aku mengatakan aku ingin bersantai di rumah saja dan malas ke kampus. Melihat angka 2014 membuatku langsung menyambar handuk dan bergegas ke kampus, entah untuk apa, pokoknya mengerjakan sedikit demi sedikit isi skripsiku. 

Bagiku, Tuhan menciptakan Farid seperti crayon. Dia begitu berwarna. Setelah mengenalnya, aku mengenal banyak hal baru. Dia pintar, sangat pintar menurutku. Pengetahuannya banyak, dan dia bisa dengan gamblang menjelaskan sesuatu padaku. Ingin rasanya aku menukar otakku dengannya. Tentu saja Farid tidak akan mau. Kalaupun dia mau, juga tidak bisa. Kayak uang aja otak kok dituker-tuker. Dia punya banyak kehidupan yang tidak aku miliki. 

Aku begitu menikmati saat melihat dia berbagi ilmu dengan anak-anak di UKMKI. Menjelaskan ketidaktahuan juniornya tentang suatu mata kuliah atau judul penelitian. Melihatnya mengajari temannya mengaji dengan alunan merdu. Ya, aku sekarang sering berada di UKMKI. Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Islam. Farid membawaku pada lingkaran keluarga baru. mereka menerimaku, memodifikasi namaku dengan memanggilku dengan panggilan "Mbak Yeye". Entah kenapa, Penerimaan yang istimewa membuatku merasa bahwa mereka tulus, mereka ikhlas dan tidak berpura-pura. Sebelumnya, aku hanya pernah sekali kesini, itu juga untuk sekedar ngeprint tugas beberapa tahun lalu. Sekarang aku baru tahu, UKM ini membentuk sebuah keluarga kecil dengan berbagai karakter dan kesederhanaan yang tinggi. Sepertinya aku memang kelewat apatis dengan kehidupan sekitarku. Aku memang selalu merasa jarang membutuhkan orang lain. sehingga bagiku mengenal banyak orang tidaklah seberapa penting. Sampai akhirnya UKM ini membuat aku sadar akan banyak hal. aku baru merasakan begitu enaknya mengenal banyak orang, berteman dengan berbagai karakter, tertawa bersama, berebut posisi dibawah kipas angin, dan berbagi satu sama lain.

Banyak hal yang mencubit batinku di UKMKI. Aku sempat terhenyak saat seorang wanita berjilbab menutup pintu dan gorden UKM rapat-rapat. Saat itu aku tidak bertanya, karena sebenarnya aku masih baru dan hanya mengenal Farid.   Aku terus memperhatikan gerak-gerik perempuan itu, aku penasaran apa tujuannya menutup pintu dan gorden. Hingga akhirnya Dia membuka pintu dan semua gorden setelah melepas dan membenahi jilbabnya berantakan. WOW!!!!! Bahkan saat melepas jilbab saja dia harus memastikan tidak ada pria yang melihat. Sementara aku??? Aku dengan gampang datang ke pesta memakai gaun dengan belahan dada rendah layaknya model-model dan selebriti, aku datang ke klub malam untuk berpesta dengan teman-temanku dan memakai gaun panjang yang tertutup dibagian depan namun memperlihatkan punggung sebatas pinggang yang mulus dan tanpa cela, aku dengan rok mini berbahan jeans berjalan di mall, dan bikini yang hanya menutupi dua bagian tubuhku saat aku berlarian di pantai setiap berlibur. 

Masih tentang cubitan kecil UKMKI.
Suatu malam aku melihat dua pria bernama Rusdi dan entah siapa aku lupa, berbagi makanan yang kata mereka sangat enak. Aku kaget saat melihat Rusdi membuka sebungkus nasi yang hanya berlauk telur dadar bakar, tahu bakar, dan tempe bakar, lalu sedikit sambal. Bukan ayam atau bebek atau daging dan banyak jenis ikan yang sering membuatku bosan saking seringnya memakan itu. Mereka berbagi, makan dengan lahap, dengan lauk yang menurutku bukan lauk. Lauk yang membuatku kembali menutup tudung saji dan mengembalikan piring karena selera makanku hilang, lalu Menelepon Delivery Pizza Hut.
Sontak aku memaki diri sendiri. Banyak hal yang aku lewatkan di kehidupanku, salah satunya adalah nikmatnya kebersamaan dalam kesederhanaan. Jelas saja, aku selama ini hanya menikmati kebersamaan dengan duduk di Bar mahal, restoran dengan minimal harga makanan 48 IDR, tertawa membicarakan gadged keluaran terbaru di cafe-cafe mall besar, berjanji bersama teman-teman untuk 'nyalon' dan membaca majalah-majalah fashion. Aku sadar, banyak bagian kecil yang lebih indah dibanding hari-hariku sebelumnya.  Ya, Tuhan menciptakan dia seperti crayon.

Kampus, 13.10 PM

Huaaahhhhhhhhhhhhhhhhh, lega rasanya bisa keluar ruang sidang dengan senyum. Aku tidak peduli dengan nilai yang akan kudapatkan. Aku yakin tadi persentasiku berjalan dengan lancar. Semua bekat Farid yang bersedia menemaniku lembur sampai jam 4 pagi dan pulang dari McD Basra menjelang adzan. Aku tidak melihat Farid menjelang aku sidang, kemana dia. Ya sudahlah, toh dia sudah mengirimkan pesan di BBM dan memintaku untuk semangat. aku yakin dia mendoakanku. Kenapa aku bisa seyakin ini, ya yakin aja. Dia tentu tak mau lembur lagi mengajariku yang sebenarnya tidak pintar ini. Hahaha... kasihan jika ingat Farid ikut kebingungan memahami skripsiku semalam.

Aku tengah duduk di lobby fakultas dan menunggu seseorang yang berjanji akan mengajakku makan besar setelah sidang. Tadi sebelum aku memasuki ruang sidang dia mengacak-acak rambutku dan berkata "aku gak mau denger sidang tidak berjalan lancar. kamu harus janji". aku mengangguk, kemudian ia memasuki mobilnya dan berjanji akan kembali selesai meeting.

Lima belas menit kemudian.
Aku melihat pria dari arah pintu lobby. Beberapa pasang mata di lobby kampus mencuri pandang. Ya, tentu saja dia terlihat mencolok. Seorang pria tampan dengan kemeja yang digulung sesiku, matanya yang tajam tak dapat disembunyikan oleh kaca mata minus yang membuatnya semakin terlihat dewasa. Hendry Fajriansyah. Dia datang dan tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku selalu ingin mencubit gemas dagunya yang berjanggut. Tentu saja aku tidak melakukannya, dia bukan lagi pacarku sejak 7 tahun yang lalu. Namun dia tetap hangat, tetap tegas, dan tetap memperlakukanku selembut dulu. 
"Gimana??? Lancar??"
"Sesuai janji lahh. Lancar doooongggggggg", jawabku sembari tersenyum lebar.
"Ayo... makan!!!" ujarnya sambil mengulurkan tangan mengajakku berdiri.
"Ini skripsi berat lohhh 4 jilid. Kamu ga mau bawain gitu ke mobil???" 
"Kamu sejak kapan sih manja gini. Coba daridulu begini, aku kan seneng ngerasa dibutuhin. DASAR MANJAAAAA!!!, ya udah ini kunci mobil, masuk sana. Itu biar aku yang bawa!".
Dia heran, aku sangat berbeda dengan 7 tahun yang lalu. Meskipun judesnya tetap, namun nampaknya dia dulu tidak menikmati berpacaran denganku yang kelewat mandiri dan tidak pernah membutuhkan dia.

Waktu takkan mampu membunuh segala rasaku, cintaku padamu
Bumi bisa terbelah, cintaku akan tetap utuh untukmu 
Waktu takkan mampu membunuh segala rasaku, cintaku padamu 
Bumi bisa terbelah, cintaku akan tetap ku beri utuh untukmu

Alunan lagu berlirik manis milik Tompi terdengar di dalam sebuah mobil yang menyusuri jalanan Surabaya. Di dalamnya, aku menceritakan semua yang terjadi di ruang sidang, dia mendengarkan dengan baik.

***
24 November 2013
Aku berjalan berhati-hati menuju podium. Kebaya Pink kemerah-merahan dan bawahan songket pink dengan belahan didepan dan dihiasi bordir bunga ini membuatku sedikit kesulitan berjalan. Ini rasanya berjalan diatas awan, berjalan dengan hati yang riang gembira. Aku tersenyum saat terdengar namaku di bacakan oleh protokol. Di barisan kursi undangan, aku tahu ada dua bola mata yang aku yakin berbinar lebih bahagia daripada bola mataku sendiri. PAPA.

Menuruni anak tangga dengan toga yang sudah di pindahkan oleh rektor membuatku ingin melonjak kegirangan. Aku berjalan dengan anggun sambil melihat ke arah kedua orang tuaku. Senyumku mengisyaratkan sebuah ucapan terimakasih untuk Papa, mendidikku menjadi seperti ini. R.Thalia Hartono Soewignyo, S.Psi. Trimakasih Papa, Mama.

"Farid Firmansyah, S.Psi."
Aku melihat dia berjalan penuh key akinan. Dia tersenyum sama lebarnya dengan senyumku saat menyalami rektor. Dia pria hebat yang bisa membawaku sampai ke ruang wisuda ini. Ah senyumnya sederhana tapi menenangkan. Senyum yang tak bisa membuatku marah bahkan saat aku kesal ia menolak belajar di kafe dan menyuruhku datang ke UKM jika memang mau belajar. Saat itu aku menggerutu kesal di jalan menuju kampus, aku memang membutuhkan bimbingannya, tapi apa salahnya belajar di kafe. Saat itu aku tidak nyaman berada di UKM karena aku tidak mengenal semua isi UKMKI. Aku memasuki ruang UKM dengan kesal, menaruh tas dengan sedikit hempasan. Ya, hanya sedikit. karna aku tahu di dalam tasku ada HP dan botol parfum. Aku tahu betul bagaimana bentuk mukaku saat sedang kesal begini. Dia tersenyum dan berkata "Halloooo, Assalamualaikum dulu dong kalo mau masuk". INNOCENT sekali senyumnya, tapi entah kenapa mendinginkan hati dan membuat aku tertawa.

29 Desember 2012
"Dahhhhhh... jangan kangen ya"
Aku tersenyum dan Melambaikan tangan pada pria yang berdiri di luar pagar antrian. Sudah saatnya aku berada di boarding room Juanda International Airport. Pesawat penerbangan malam akan membawaku pergi kota sebelah. Aku akan bekerja di Jakarta. Melanjutkan hidupku disana. Baju sebanyak dua koper di bagasi pesawat menandakan aku akan berda disana dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Seseorang yang dulu membuatku kebingungan mencari tahu namanya, kini mengajariku banyak hal mulai dari bagaimana bersabar, berbagi, bersemangat, tersenyum, dan kesederhanaan. Terimakasih untuk goresan crayon yang begitu berarti. 

I'll be back and see you another day.

*******************************
 
Cerpen By Thalia Soewignyo
Jakarta, 12 Maret 2013

Dedicated for:  
Farid Firmansyah, S.Psi
Teman-teman UKMKI

 
*Kulo : Bahasa Jawa halus yang berarti saya
*Njenengan : Bahasa Jawa halus yang berarti kamu, anda. Biasanya ditujukan pada orang yang lebih tua