Friday, May 3, 2013

"Pemerintah bego nih"

"Tomang bang?"
"Masuk dalam neng"
aku memastikan aku tak akan salah kagi menaiki angkot. Aku Berjalan menuju bangku ujung, memasuki sebuah angkot JB 03 dengan membungkuk agar kepalaku tak terbentur plafon mobil angkutan ini.

Tepat di depanku, aku melihat dua orang wanita yang kuperkirakan usianya memasuki 19 tahun. Mereka berdua nampaknya berteman. Aku tahu karena melihat mereka berdua tengah asik membicarakan sesuatu. aku tidak tahu mereka berbicara tentang topik apa, yang ku tahu hanya satu, nampaknya mereka berdua tengah memakan siomay batagor yang amat pedas. Mereka berdua berbincang sambil sesekali mengusap keringat diatas bibir mereka.

Angkot berjalan, memecah kemacetan saat jam pulang kerja. Aku melepas id card kerjaku yang ternyata masih terselip di pita bajuku.

Macet macet dan macet. Itulah kata lain yang dapat menggambarkan Jakarta selain monas. Angkot yang kunaiki ini mulai berjalan memasuki gang. Namun tak satu orangpun turun mengurangi kesempitan.

Hingga akhirnya aku mendengar dua wanita tadi berbincang. Bukan maksudku mendengarkan, tapi suara cempreng mereka menembus dinding telinga seluruh penumpang. Jadi mau tidak mau kami seperti kambing congek yang menumpang di mobil pribadi mereka.

"Hujan gede kemaren rumah lo banjir gak???"
"Banjir. Gila. Jalanan tuh lumayan becek. Saluran airnya penuh jadi ke jalan deh aernya"
"Rumah gue juga banjir. Ya sama bgitu."
"Ih pemerintah mah janji doang. Katanya mau ngatasin banjir"
"Iya. Pemerintah bego nih. Ngatasin gitu doang susah. Gayanye aja belusukan kagak ada hasilnya"
"Hahahaa iye, tau begitu kagak usah pilih jokowi"

Aku diam. Menyimak pembicaraan mereka mengenai usaha pemerintah. Hingga akhirnya mereka diam. Aku melihat sesuatu yang membuatku tersenyum sinis. Ingin rasanya aku menjambak rambut keduanya dan kuikat jadi satu, lalu kuseret mereka ke saluran air yang dipenuhi sampah di Jakarta.

"Depan Kiri bang!" Mereka berdua mengisyaratkan agar sang supir menginjak rem dan menurunkan dua princess yang PINTAR ini.

"MBAKKK SAMPAHNYA SIOMAYNYA DIBAWA YA. BUANG DI BAK SAMPAH. Nanti kalo ditinggal dibawah situ, Jakarta banjir lagi, berarti ya karena warganya Jokowi kayak lo berdua. Bukan Jokowinya yang bego ya"

Aku memberikan mereka sebuah kantong plastik yang slalu kusimpan di dalam tasku. Lalu mengambilkan sampah yang sebenarnya sudah mereka ikat rapi lalu diletakkan dilantai angkutan umum ini.

"BUANG DI BAK SAMPAH. SUPAYA GANG RUMAHNYA GAK BANJIR LAGI"
Ujarku sembari menyodorkan bungkus siomay yang pedas dan sudah memenuhi perut mereka.

Kulihat mereka turun dengan muka cemberut. Satu wanita membawa kantong plastik hitam berisi sampah.

Andai Jokowi tahu, dia sedang memimpin warga yang tidak memiliki kesadaran pribadi seperti itu.

Semangat pak Jokowi. Saya tidak mengikutkan suara saya pada pemilihanmu. Tapi saya sebagai pendatang di Kotamu, turut memimpikan Jakarta yang bersih.

;)

Jakarta, 3 Mei 2013

Thursday, May 2, 2013

Yang kecil yang berbagi.

Suara klakson terdengar menyambut pagi, sebagai tanda bahwa hingar bingar dan hiruk pikuk kota hari ini dimulai.
Sederetan pekerja telah berdiri di bibir jalan dan sebagian berada di halte busway. tak sedikit pula yang ada di ujung belokan menanti alat transportasi umum. Berantakan sekali!!! Seolah olah mereka tak tahu fungsi halte.

Ya.
Inilah Jakarta yang konon kata mereka keras. Mereka yang semalam mengeluh tentang macetnya Ibukota pada jam pulang kantor namun tetap memilih bertahan dan berdiri disini hingga hari ini.

Hmmmfffhhhhh...
Aku menarik nafas panjang. Aku menjadi bagian dari orang-orang yang kubicarakan tadi. Semalam aku baru saja memaki kota ini akibat kemacetan yang kutempuh hingga 4 jam saat pulang bekerja. Pagi ini, aku duduk di sebuah taksi yang akan kembali membawaku ke kantor.

Lampu merah menyala. Aku mendengus kesal karena akan terjadi insiden klakson menglakson menjelang lampu ini beralih menjadi hijau. Entah mengapa suara klakson yang bersahutan benar-benar membuatku makin emosi. Andai ini negara yang berhukum rimba, aku akan turun dan mencolok dua bola mata mereka dengan jari. Percuma rasanya mereka mempunyai mata namun sudah menglakson jauh sebelum lampu hijau benar benar menyala.

Di lampu merah ini aku sering melihat seorang anak laki-laki yang mungkin usianya sekitar sebelas tahunan. Aku sering tersenyum melihatnya. Dia menjajakan korannya dengan sangat bersemangat. Berlari kecil dari satu kaca mobil ke kaca yang lain. Aku tengah melihatnya sudah menjajakan pada 7 kaca mobil namun tak satupun laku. Dia tetap tersenyum. Dan terus berlari. Hingga akhirnya sampai pada kaca mobil taksi yang kunaiki. Aku membuka jendela. Dan mengambil sepuluh uang dua ribuan baru milikku. Ia memberikan korannya..
"Dek, bawa aja korannya. Itu buat jajan"
"Makasih kak"
sejenak aku teringat adikku yang biasa memanggilku dengan sebutan kak.
Entah mengapa aku seolah sering memerhatikan dia. Si penjaja koran bertopi hijau. Dia sering menularkan semangatnya secara tidak langsung setiap aku melewati jalan ini saat pagi hari.
bersamaan dengan itu dia berlari kearah suara klakson yang keras didepan sana. Aku memerhatikannya. ia masih menggenggam erat dua puluh ribu yang kuberikan tadi. Ia mendatangi seorang bapak tua tunanetra yang baru saja ditabrak motor. Aku memerhatikannya. Menolong dan Menyeberangkan bapak tua itu, mendudukkannya dan mengusap darah di kening bapak tua tersebut. Hingga akhirnya dia memindahkan sepuluh lembar dua ribuan baru yang digenggamnya ke saku kemeja batik bapak tua bertongkat tersebut. Ia berlari, dari satu mobil ke mobil yang lain lagi. Menjajakan korannya dengan riang dan tetap tersenyum....

-Jakarta, 2 Mei 2013-